Secara
istilah kata Al-Khilâfah memiliki
persamaan dengan Al-Imâmah dan Imâratu-l-Mukminîn.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmû' Syarhu-l-Muhadzdzab mengatakan:
والإمامة والخلافة
وإمارة المؤمنين مترادفة
“Al-Imâmah, Al-Khilâfah, dan Imâratu-l-Mukminîn adalah sinonim.”[1]
Sedangkan
pengertiannya menurut para
ulama,
diantaranya adalah
sebagaimana berikut.
1. Menurut Imam Al-Mawardi (w. 450
H):
الإمامة موضوعة
لخلافة النبوة في حراسة الدينِ وسياسة الدنيا
“Imamah
adalah sebutan bagi pengganti kenabian dalam menjaga Dien (Islam) dan mengurus
urusan dunia.”[2]
2. Menurut Imam
An-Nawawi (w. 676 H):
والمراد بها الرياسة
العامة في شؤونِ الدينِ والدنيا
“…
yang dimaksud dengannya adalah: Kepemimpinan umum dalam urusan-urusan Dien (Islam)
dan urusan-urusan dunia.”[3]
3. Menurut Imam Al-Iji (w. 756
H):
هي خلافة الرسول في
إقامة الدين وحفظ حوزة الملة بحيث يجب اتباعه على كافة الأمة
“…
dia adalah pengganti Rasulullah saw dalam menegakkan Dien (Islam), dan menjaga
keutuhan Millah (Islamiah), yang wajib diikuti oleh seluruh umat.”[4]
4. Menurut
Ibn Khaldun
(w. 808 H):
فهي في الحقيقة خلافة
عن صاحب الشرع في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“…
dia pada hakikatnya adalah pengganti (peran) Allah swt dalam menjaga agama dan
mengurus dunia dengan agama.”[5]
Adapun
definisi Khilafah yang bersifat jaami’ (komprehensif) dan maani’ (protektif),
yang sekaligus juga mengakomodasi definisi-definisi para ulama di atas adalah:
رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي،
وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
“Kepemimpinan
umum bagi seluruh kaum muslim di dunia, guna menerapkan hukum-hukum syara’, dan
mengemban dakwah islamiah ke seluruh alam.”[6]
2. Empat Pilar Negara Khilafah
Sistem
Khilafah tegak di atas empat pilar: (1) As-Siyaadah (kedaulatan) berada
di tangan syara’; (2) As-Sulthaan (kekuasaan) berada di tangan rakyat;
(3) Mengangkat satu orang Khalifah fardhu atas seluruh kaum Muslim; (4) Hanya
Khalifah yang berhak mengadopsi hukum syariah[7]. Jika salah satu saja dari
empat pilar tersebut tiada, maka suatu pemerintahan tidak bisa disebut sebagai
pemerintahan Islam[8].
1) As-Siyaadah
(kedaulatan)
berada di tangan syara’
Kedaulatan adalah otoritas
absolut tertinggi, sebagai satu-satunya pemilik hak untuk menetapkan hukum
segala sesuatu dan perbuatan[9]. Berdasarkan firman Allah
swt:
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ
مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ
وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ [الأنعام: 57]
“Katakanlah:
Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku,
sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya
disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik.” (QS.
Al-An’aam [6]: 57)
Karena penetapan
hukum hanya milik Allah swt semata, maka peran penguasa (khalifah) dalam sistem
pemerintahan Islam hanya sebagai pelaksana, tanpa memiliki wewenang sedikitpun
untuk membuat hukum. Dan haram hukumnya bagi penguasa untuk memberhentikan
pelaksanaan hukum-hukum Islam, untuk kemudian berhukum dengan selainnya. Imam
Ibnu Katsir berkata:
ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المحكم المشتمل على كل
خير ، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات ، التي
وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله ، ... فلا يحكم بسواه في قليل ولا كثير ، قال الله تعالى : ﴿
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ﴾ أي : يبتغون ويريدون ، وعن حكم الله يعدلون
. ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾ أي : ومن أعدل من
الله في حكمه لمن عَقل عن الله شرعه ، وآمن به وأيقن وعلم أنه تعالى أحكم الحاكمين
.
“Allah
mengingkari siapa-siapa (penguasa) yang tidak menerapkan hukum Allah swt yang
jelas, konprehensif meliputi setiap kebaikan dan mencegah dari setiap
keburukan, serta berpaling kepada selainnya yang berupa pendapat, hawanafsu,
dan istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar kepada syari'at
Allah swt, … maka tidak boleh berhukum dengan selain hukum Allah swt, baik
sedikit maupun banyak. Allah swt berfirman (yang artinya): “Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki”, atau: yang mereka kehendaki dan mereka mau,
sedangkan dari hukum Allah swt mereka berpaling. “dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” atau: siapakah
yang lebih adil syari’atnya daripada hukum Allah swt bagi siapa-siapa yang
berfikir tentang Allah swt, mengimani-Nya, dan yakin serta tahu bahwa Allah swt
adalah seadil-adilnya hakim.”[10]
2) As-Sulthaan
(kekuasaan) berada di tangan
rakyat
Bahwa
pengangkatan seorang kepala negara (khalifah) dalam pemerintahan Islam tidak lain
adalah berdasarkan pilihan umat dengan metode bai’at. Baik dari mayoritas umat,
atau yang mewakili mereka, yaitu ahlu al-halli wa al-‘aqdi; dan khalifah
hanya mengambil kekuasaan melalui bai’at umat ini[11].
Diantara yang menggambarkan bahwa khalifah dipilih oleh umat adalah hadits
shahih dari Abu Hurairah ra berikut.
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء
كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون قالوا فما تأمرنا قال
فوا ببيعة الأول فالأول أعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم
Dari Nabi saw beliau bersabda: Adalah Bani Israil mereka
diurus oleh para nabi-nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh
nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi setelahku, dan yang akan
ada adalah para khalifah dalam jumlah yang banyak. Para sahabat bertanya:
lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami?, Nabi menjawab: “Tunaikanlah
bai’at bagi yang pertama dan pertama, berikanlah kepada mereka hak-hak mereka,
sungguh mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah swt atas apa
yang mereka urus.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3) Mengangkat satu
orang Khalifah fardhu atas seluruh kaum Muslim
Jumlah
khalifah di setiap masa tidak boleh lebih dari satu. Berdasarkan hadits shahih riwayat
Muslim berikut.
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا
بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, beliau berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir
di antara keduanya.” (HR. Muslim)
Imam
An-Nawawi (w. 676 H) berkata:
واتفق العلماء على
أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد ، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا
“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh
mengangkat dua khalifah di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun
tidak.”[12]
Imam
As-Sinqithi (w. 1393 H) menyatakan:
قول جماهير العلماء
من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا ، وأن لا يتولى
على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه مسلم في
صحيحه من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما .
“Pendapat jumhur ‘ulama: Bahwa berbilangnya
khalifah adalah tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa
atas wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali umara’ yang diangkat
oleh khalifah, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan
oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir (diba’at) di antara
keduanya.”[13]
4) Hanya Khalifah yang
berhak mengadopsi hukum syariah
Satu-satunya
yang berhak mengadopsi hukum syari’ah untuk kemudian diterapkan atas kaum
muslim adalah khalifah, berdasarkan ijma’ shahabat. Misalnya, saat pemerintahan
Abu Bakar, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali dihukumi talak
satu. Namun, saat pemerintahan Umar bin Al-Khaththab, beliau menetapkan ucapan
talak sebanyak tiga kali dihukumi talak tiga. Tidak ada satupun sahabat Nabi
saw yang mengingkari tindakan keduanya. Dengan demikian, telah terjadi Ijma’
Shahabat dalam dua perkara. Pertama: Khalifah berhak mengadopsi dan
menetapkan hukum syariah yang diberlakukan secara umum kepada seluruh rakyat. Kedua:
wajib atas rakyat menaati Khalifah dalam hukum-hukum syariah yang telah
diberlakukan[14].
3. Pandangan Ulama tentang Wajibnya Khilafah
Berikut
ini pandangan beberapa Ulama ahlus sunnah wal jama’ah lintas madzhab
tentang wajibnya Khilafah.
·
Imam 'Alauddin al-Kasaaniy dari
madzhab Hanafi:
... ولأن نصب الإمام الأعظم فرض بلا خلاف بين أهل الحق ولا عبرة
بخلاف بعض القدرية لإجماع الصحابة رضي الله عنهم على ذلك ولمساس الحاجة إليه لتقيد
الأحكام وإنصاف المظلوم من الظالم وقطع المنازعات التي هي مادة الفساد وغير ذلك من
المصالح التي لا تقوم إلا بإمام
“… dan dikarenakan pengangkatan Imam A’zham (khalifah)
adalah fardhu tanpa perbedaan diantara Ahlul-Haqq (pengikut kebenaran), tidak
diperhitungkan perbedaan kalangan Qadariyyah dikarenakan ijma’ shahabat ra atas
nya, dan besarnya kebutuhan terhadapnya karena keterikatan hukum-hukum syara’,
menolong orang yang terzhalimi dari yang menzhalimi, menutuskan persengketaan
yang merupakan sumber kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan lainnya yang
tidak bisa tegak tanpa keberadaan seorang Imam.”[15]
·
Imam Al Qurthubi dari madzhab Maliki:
هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة؛ يسمع له ويطاع؛ لتجتمع به
الكلمة وتنفذ به أحكام الخليفة، ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة، ولا بين الأئمة إلا
ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم
“Ayat ini (Al-Baqarah: 30) merupakan landasan bagi
pengangkatan seorang Imam dan Khalifah yang didengarkan dan ditaati, agar suara
kaum muslim bersatu, dan diterapkannya hukum-hukum khalifah. Tidak ada
pertentangan di kalangan umat Islam dan para Ulama tentang wajibnya Khilafah,
kecuali yang diriwayatkan dari Al-Ashamm, yang mana dia benar-benar tuli
terhadap syari’at.”[16]
·
Imam An-Nawawi dari madzhab Asy-Syaafi’i:
وأجمعوا على أنه يجب على المسلمين نصب خليفة ووجوبه بالشرع
لا بالعقل ، وأما ما حكي عن الأصم أنه قال : لا يجب ، وعن غيره أنه يجب بالعقل لا
بالشرع فباطلان
“… dan mereka (para ulama) bersepakat bahwa wajib atas
kaum muslim untuk mengangkat seorang khalifah, dan wajibnya berdasarkan nash
syara’ bukan berdasarkan logika. Adapun yang dikisahkan dari Al-Ashamm bahwa dirinya
berkata: tidak wajib, dan (yang dikisahkan) dari selainnya (yang mengatakan)
bahwa wajibnya berdasarkan logika bukan berdasarkan nash syara’, maka keduanya
adalah pendapat yang bathil.”[17]
·
Imam Umar bin Ali bin Adil dari madzhab Hambali:
هذه الآية (البقرة 30) دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع
له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك
بَيْنَ الأئمة ، إلاّ ما روي عن الأصَمّ وأتباعه أنها غير واجبةٍ في الدين
“Ayat ini (al-baqarah 30) merupakan dalil atas wajibnya
mengangkat imam dan khalifah yang didengarkan dan ditaati, guna persatuan suara
kaum muslimin, dan diterapkannya hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbedaan
dalam wajibnya hal tersebut diantara para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan
dari Al-Ashamm dan para pengikutnya, bahwa ia (khilafah) tidak wajib dalam
agama.”[18]
·
Abdurrahman Al-Jaziri:
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على أن الإمامة فرض ، وأنه لا
بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين ويُنصف المظلومين من الظالمين .
“Para Imam (An-Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas,
Muhammad bin Idris, dan Ahmad bin Hambal) rahimahumullaah telah bersepakat
bahwa Imamah adalah wajib, bahwa harus ada seorang Imam bagi kaum muslim yang
menegakkan syi’ar-syi’ar agama, dan menolong mereka yang terzhalimi dari
orang-orang yang menzhalimi.”[19]
·
Ibn
Hazm dari madzhab Adz-Dzahiri:
اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع
الخوارج على وجوب الإمامة وأن الامة واجب عليها الإنقياد لإمام عادل يقيم فيهم
أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي آتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم ،
حاشا النجدات من الخوارج
“Telah bersepakat seluruh Ahli Sunnah, seluruh Murji’ah,
Seluruh Syi’ah, Seluruh Khawarij atas wajibnya Imamah, dan bahwa wajib atas
umat untuk tunduk terhadap seorang Imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum
Allah swt di tengah-tengah mereka, serta mengurus urusan-urusan mereka dengan
hukum-hukum syari’at yang dibawa Rasulullah saw, kecuali kalangan An-Najdaat
dari kelompok kawarij.”[20]
Tidak hanya wajib, khilafah juga merupakan perkara penting
dan mendesak, sehingga para sahabat lebih mendahulukannya daripada menunaikan
kewajiban memakamkan jenazah Nabi Muhammad saw. Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy menyatakan:
اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا
على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا
به عن دفن رسول الله واختلافهم في التعيين لا يقدح في الإجماع المذكور
“Ketahuilah juga bahwa para sahabat ra telah bersepakat
bahwa pengangkatan seorang Imam setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib,
bahkan mereka menjadikannya kewajiban yang terpenting, dimana mereka
menyibukkan diri dengannya dari memakamkan Rasulullah saw. Sedangkan perbedaan mereka
dalam penentuan (siapa khalifahnya) tidak membatalkan ijma’ yang telah
disebutkan.”[21]
Terakhir, ada baiknya merenungkan apa yang dilantunkan Hanzhalah
bin Ar-Rabi’ ra, sahabat sekaligus juru tulis Nabi saw, saat beliau menyaksikan
konspirasi yang dilakukan sebagian penduduk Mesir, Kufah, dan Bashrah dalam
rangka melengserkan khalifah Utsman bin ‘Affan ra dari kekhilafahan.
عجبت لما يخوض الناس فـيه * يرومون الخلافة أن تزولا
ولو زالت لزال الخير عنـهم * ولاقوا بعدها ذلا ذلـيلا
وكانوا كاليهود أو النصارى * سواء كلهم ضلوا السبيلا
“Aku
heran dengan apa yang menyibukkan orang-orang ini # mereka berharap agar
khilafah segera lenyap”
“Jika
ia sampai lenyap sungguh akan lenyap pula semua kebaikan dari mereka # dan
mereka akan menjumpai kehinaan yang amat sangat.”
“Adalah
mereka kemudian seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani # mereka semua sama-sama
berada di jalan yang sesat.” [22]
[1]
An-Nawawi, Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 19/191
[2]
Al-Mawardi, Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah wa Al-Wilaayaat Ad-Diiniyyah, hlm
3
[3]
Ibid.
[4]
Al-Iji, Al-Mawaaqif, 3/579
[5]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm 97
[6]
Hizbut Tahrir, Al-Khilaafah, hlm 1. Lihat juga An-Nabhaani, Muqaddimah
Ad-Dustuur, hlm 118, dan Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/6
[7]
An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm 109
[8]
An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islaamiyyah, hlm 201
[9]
Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm 24
[10]
Al-Marja’ As-Saabiq, 3/131
[11]
Lihat An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm 111; dan Hizbut Tahrir, Ajhizah
Dawlah al-Khilâfah, hlm 20
[12]
An-Nawawi, Syarh An-Nawawî ‘alâ Muslim, 12/232
[13]
As-Sinqithi, Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh Al-Qur’ân bi Al-Qur’ân, 3/39
[14]
Lihat An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm 17
[15]
'Alauddin al-Kasaaniy, Badaa-i’u-sh-Shanaa-i' fii Tartiibi-sy-Syaraa-i',
14/406
[16]
Al Qurthubi Al-Malikiy, Al-Jaami' li-Ahkaami Al-Qur’aan, 1/265
[17]
An-Nawawi, Syarh Shahiih Muslim, 6/291
[18]
Umar bin Ali bin Adil, Tafsiiru-l-Lubaab fii 'Uluumi-l-Kitaab, 1/204
[19]
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala-l-Madzaahibi-l-'Arba'ah, 5/308
[20]
Ibn Hazm, Al-Fashl fî Al-Milal wa Al-Ahwâ' wa An-Nihal, 4/72
[21]
Ibnu Hajar al-Haitamiy, Ash-Shawaa'iq Al-Muhriqah, 1/25
[22]
Lihat Ibnu
Al-Atsiir, Al-Kaamil fii At-Taariikh, 2/17
0 comments:
Post a Comment